Masih adanya para pengecer yang terpikat keuntungan lebih kemudian melakukan tindak kriminal “mengoplos gas elpiji”
“Kejahatan” mencari untung dari selisih harga komoditas yang
disubsidi dengan yang tidak disubsidi, juga terjadi di lini usaha yang
lain: minyak solar industri dan pupuk. Selisih harga solar industri
dengan solar bersubsidi cukup lumayan: Harga solar bersubsidi per liter
Rp 4.500, sedang solar industri Rp 6.200. Sedang pupuk, selisih harganya
lebih gila. Harga pupuk subsidi per kilo sekitar Rp 1.200, sedang harga
pupuk non subsidi bisa mencapai Rp 2.300 bahkan Rp 5.400.
Disparitas harga komoditas disubsidi tersebut cukup merangsang orang untuk berspekulasi mendapat keuntungan lebih besar. Ada 2 hal. Distributor komoditi bersubsidi menjual kepada dunia usaha yang tidak berhak mendapat subsidi dengan harga diatas harga subsidi. Yang lain, industri, ngumpet-ngumpet membeli di pasar non subsidi. Memang ada aturan pidana bagi pelaku, namun sehebat apa pun mekanisme pengawasan distribusi komoditas tersebut.
Kebijakan subsidi dengan disparitas harga ini sungguh mengundang banyak kerawanan. Dalam pengawasan distribusi misalnya, benarkah bisa sampai kepada yang berhak menerima subsidi? Belum lagi mengwasi para pemainnya, baik departemen teknis pimilik otoritas maupun pedagangnya. dimungkinkan kebijakan seperti ini adalah unsur kesengajaan pihak tertentu guna menciptakan “tambang” emas, bagi para pelaku kejahatan.
Mungkin anda bisa memberikan pencerahan soal ini?
Disparitas harga komoditas disubsidi tersebut cukup merangsang orang untuk berspekulasi mendapat keuntungan lebih besar. Ada 2 hal. Distributor komoditi bersubsidi menjual kepada dunia usaha yang tidak berhak mendapat subsidi dengan harga diatas harga subsidi. Yang lain, industri, ngumpet-ngumpet membeli di pasar non subsidi. Memang ada aturan pidana bagi pelaku, namun sehebat apa pun mekanisme pengawasan distribusi komoditas tersebut.
Kebijakan subsidi dengan disparitas harga ini sungguh mengundang banyak kerawanan. Dalam pengawasan distribusi misalnya, benarkah bisa sampai kepada yang berhak menerima subsidi? Belum lagi mengwasi para pemainnya, baik departemen teknis pimilik otoritas maupun pedagangnya. dimungkinkan kebijakan seperti ini adalah unsur kesengajaan pihak tertentu guna menciptakan “tambang” emas, bagi para pelaku kejahatan.
Mungkin anda bisa memberikan pencerahan soal ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please your coment